Pemerintah daerah di Aceh, baik bupati maupun wali kota diminta untuk memberikan edukasi (pendidikan) bahaya merokok kepada masyarakat, sehingga perokok tidak sembarangan merokok apalagi di ruang publik.
Penyataan ini disampaikan Direktur The Aceh Intitute, Muazzinah Yacob, Kamis (6/6/2024).
Dia mengatakan, AI bukan melarang orang merokok namun tidak bisa merokok sembarangan, dan perlu perokok santun, tidak mengkhianati orang lain akibat asap rokok. “Banyak efeknya apalagi merokok di depan anak anak di rumah,” ujarnya.
Di Banda Aceh lanjutnya, kepatuhan masyarakat terhadap mengurangi rokok 46 persen, akan tetapi pertengahan Mei 2024 sudah mencapai 52 persen “Ini salah satu bentuk intervensi kita dan sedikit berhasil,” ujarnya.
Dikatakan, walaupun Pemerintah Kota Banda Aceh mendapatkan penghargaan Swastisaba Padapa tingkat nasional dari Kementerian Kesehatan RI atas prestasinya dalam mewujudkan Kota Sehat 2023. Namun ini juga harus dibarengi untuk KTR sebagai kota ramah anak.
Menurutnya, ada tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Aceh.
Di lapangan, masih terjadi beragam bentuk pelanggaran yang dilakukan perokok. Aktivitas merokok, mempromosikan rokok, atau penjualan rokok di ruang-ruang publik yang tergolong sebagai KTR terus terjadi.
Di sekitar area bermain anak atau halte, misalnya, pelanggaran masih ditemukan berupa adanya perokok, atau puntung rokok yang tercecer di lokasi tersebut. Hal ini tentu harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah, mengingat ruang publik semestinya bebas dari asap maupun promosi rokok.
Di samping tantangan, tentu terdapat peluang-peluang. Salah satu peluang yang dimiliki Aceh untuk menertibkan KTR adalah adanya Qanun Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Ditambah lagi, lanjut dia, dalam beberapa tahun terakhir lahir pula regulasi KTR di tingkat kabupaten kota, baik dalam bentuk qanun maupun peraturan kepala daerah yaitu perwal dan perbup.
Lanjut dia, dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah daerah bisa membentuk satuan tugas penertiban KTR. Hanya saja, upaya penindakan yang ada selama ini belum optimal karena terkendala beberapa hal, utamanya keterbatasan atau ketiadaan anggaran.
Padahal, penganggaran penindakan pelanggaran KTR merupakan wujud komitmen pemerintah daerah dalam kerja pengendalian tembakau. Termasuk pula komitmen atas perlindungan warga dari bahaya asap rokok.
“Hukuman yang diberikan masih sebatas pembinaan atau tindakan persuasif seperti teguran kepada pelanggar,” jelasnya.
Hal itu menjadi salah satu hambatan dalam usaha menekan angka perokok khususnya di wilayah KTR. Kasus lemahnya regulasi juga bisa dilihat pada Peraturan Wali Kota Lhokseumawe tentang KTR yang dikeluarkan tahun lalu. Oleh karena regulasi ini adanya perwal, maka sanksi untuk pelanggaran tidak bisa dimasukkan. Dengan perwal, pemerintah kota hanya dapat memberikan teguran kepada pelanggar atau pihak yang membiarkan terjadinya pelanggaran di KTR.